St Teresa Benedikta dari Salib
St Edith Stein (1891-1942)
biarawati, Karmelit Tak Berkasut, martir
“Kita
membungkuk hormat di hadapan kesaksian hidup dan mati Edith Stein,
seorang puteri Israel yang luar biasa dan sekaligus seorang puteri Ordo
Karmelit, Suster Teresa Benedikta dari Salib, suatu pribadi yang
mempersatukan dalam kehidupannya yang kaya, suatu perpaduan dramatis
dari abad kita. Perpaduan dari suatu sejarah yang penuh luka mendalam
yang masih menyakitkan … dan juga perpaduan akan kebenaran penuh
mengenai manusia. Semuanya ini menyatu dalam sebentuk hati yang
terus-menerus gelisah dan tak tenang hingga akhirnya ia beroleh
istirahat dalam Tuhan.”
~ Paus Yohanes Paulus II,
Beatifikasi Edith Stein, Cologne, 1 May 1987
Edith
Stein adalah yang bungsu dari total sebelas anak pasangan
Yahudi-Ortodoks Siegfried Stein dan Auguste Courant Stein. Ia dilahirkan
di Breslau pada tanggal 12 Oktober 1891, tepat saat keluarganya
merayakan Yom Kippur, perayaan terpenting bangsa Yahudi, Hari Pendamaian
Agung. Lebih dari segalanya, hal ini menjadikan si bungsu “Jitschel”
amat berharga di mata ibunya. Dilahirkan pada hari istimewa pendamaian
ini bagai suatu nubuat bagi Jitschel kecil, yang kelak menjadi seorang
biarawati Karmelit.
Ayah
Edith, seorang pengusaha kayu, meninggal dunia mendadak ketika Edith
beranjak dua tahun. Ibunya, seorang yang amat saleh, pekerja keras,
berkemauan kuat dan sungguh seorang perempuan yang mengagumkan, sekarang
harus menghidupi dirinya sendiri, mengurus keluarga serta mengelola
perusahaan kayu suaminya. Kesemuanya itu ditunaikannya dengan berhasil,
namun demikian, ia tidak berhasil dalam memelihara iman yang hidup dalam
diri anak-anaknya. Edith kehilangan imannya akan Tuhan. “Aku secara
sadar memutuskan, atas kemauanku sendiri, untuk berhenti berdoa,”
katanya.
Sejak
masih amat muda usianya, Edith menunjukkan antusiasme dan kecemerlangan
dalam belajar. Pada tahun 1911, Edith lulus cum laude dari ujian akhir
sekolah. Ia melanjutkan kuliah di Universitas Breslau untuk belajar
bahasa Jerman dan sejarah, meski ini hanya sekedar pilihan “sampingan”.
Minatnya yang sesungguhnya adalah dalam bidang filsafat dan peran
perempuan. Ia menjadi anggota Serikat Prussian untuk Hak Perempuan. Ia
berjuang keras demi memperbaiki nasib perempuan. “Semasa di sekolah dan
semasa tahun-tahun pertamaku di universitas,” tulisnya kemudian, “aku
seorang aktivis yang radikal. Kemudian minatku hilang dalam segala
urusan itu. Sekarang aku mencari solusi-solusi pragmatis yang murni.”
Pada
tahun 1913, Edith Stein pindah ke Universitas Göttingen dan belajar
filsafat di bawah bimbingan Professor Edmund Husserl, seorang filsuf
tersohor dan penggagas fenomenologi. Edith menjadi murid dan asisten
pengajarnya, dan Husserl membimbingnya untuk meraih doktorat. Pada masa
itu, siapapun yang tertarik pada filsafat akan terpikat oleh pandangan
realitas baru Husserl, di mana dunia seperti yang kita rasakan tidak
hanya ada di jalan Kantian, dalam persepsi subyektif kita.
Murid-muridnya melihat filsafat Husserl sebagai kembali ke obyek, “back
to things”. Fenomenologi Husserl tanpa disadari menghantar banyak
muridnya ke iman Kristiani. Di Göttingen, Edith juga bertemu dengan
filsuf Max Scheler, yang mengarahkan perhatiannya ke Katolik Roma.
Edith
tidak melalaikan kuliah-kuliah “sampingan”nya dan lulus cum laude pada
bulan Januari 1915, meski ia mengikutinya tanpa bimbingan dosen.
“Aku
tak lagi memiliki hidupku sendiri,” tulisnya di awal Perang Dunia
Pertama, setelah menamatkan kursus perawat dan pergi melayani di sebuah
rumah sakit lapangan Austria. Ini adalah masa yang sulit baginya, di
mana ia merawat mereka yang sakit di bangsal tifus dan melihat
orang-orang muda mati. Walau demikian, Edith bekerja sepenuh hati dan
mendapatkan medali penghargaan atas keberanian dan pelayanannya yang
tanpa pamrih. Ketika rumah sakit dibubarkan pada tahun 1916, ia
mengikuti Husserl sebagai asistennya ke Freiburg, di mana ia lulus dari
doktoratnya dengan summa cum laude pada tahun 1917 pada usia 25 tahun
dan menerima gelar Doktor Filsafat setelah menyelesaikan tesis “Problem
Empati.”
Pada
masa ini Edith pergi ke Katedral Frankfurt dan melihat seorang
perempuan dengan keranjang belanja masuk ke dalam gereja untuk berlutut
memanjatkan doa singkat. “Ini sesuatu yang sama sekali baru bagiku. Di
sinagoga-sinagoga dan di gereja-gereja Protestan yang telah aku
kunjungi, orang hanya pergi menghadiri kebaktian. Tetapi di sini, aku
melihat seorang yang datang tepat dari keramaian pasar ke dalam gereja
kosong ini, seolah ia hendak mengadakan suatu percakapan yang mesra. Ini
sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan.” Di akhir disertasinya ia
menulis, “Ada orang-orang yang percaya bahwa suatu perubahan yang
sekonyong-konyong terjadi atas diri mereka dan bahwa ini adalah karena
rahmat Allah.”
Edith
Stein bersahabat baik dengan asisten Husserl di Göttingen, Adolf
Reinach, dan isterinya. Ketika Reinach gugur pada bulan November 1917,
Edith pergi ke Göttingen untuk mengunjungi jandanya. Suami isteri
Reinach telah memeluk agama Protestan. Pada awalnya, Edith merasa
canggung menemui janda muda ini, tetapi ia terkejut ketika sesungguhnya
ia menjumpai seorang perempuan penuh iman. “Inilah perjumpaan pertamaku
dengan Salib dan kuasa ilahi yang diberikan kepada mereka yang
menanggungnya … itulah saat ketika ketidakpercayaanku hancur dan Kristus
mulai menyinarkan terang-Nya atasku - Kristus dalam misteri Salib.”
Di
kemudian hari Edith menulis, “Apapun yang tidak sesuai dengan rencanaku
sendiri sungguh berada dalam rencana Allah. Aku bahkan memiliki
keyakinan yang terlebih mendalam dan terlebih teguh lagi bahwa tak
suatupun yang sekedar kebetulan belaka apabila dilihat dalam terang
Tuhan, bahwa seluruh hidupku hingga ke hal-hal yang paling detil
sekalipun telah dirancangkan bagiku dalam rencana Penyelenggaraan Ilahi
dan memiliki makna yang sepenuhnya dan logis dalam pandangan Tuhan yang
melihat semuanya. Jadi aku mulai bersukacita dalam terang kemuliaan di
mana makna ini akan disingkapkan bagiku.”
Pada
musim gugur 1918, Edith Stein mengundurkan diri dari pekerjaannya
sebagai asisten pengajar Husserl. Ia ingin bekerja mandiri. Baru pada
tahun 1930 Edith bertemu kembali dengan Husserl setelah pertobatannya,
dan ia berbagi iman dengannya, sebab ia ingin Husserl menjadi seorang
Kristiani juga. Lalu Edith menuliskan kata-kata nubuat ini, “Setiap saat
aku merasakan ketakberdayaanku dan ketakmampuanku untuk mempengaruhi
orang secara langsung, aku menjadi semakin sadar akan perlunya
`holocaust'ku sendiri.”
Edith
Stein mendamba gelar professor, suatu impian yang mustahil bagi seorang
perempuan pada masa itu. Husserl menuliskan referensi berikut, “Andai
karir akademis terbuka bagi kaum perempuan, maka aku akan
merekomendasikannya dengan segenap hatiku dan sebagai pilihan pertamaku
untuk gelar tersebut.” Edith akhirnya ditolak terutama karena ia seorang
Yahudi.
Sekembalinya
ke Breslau, Edith Stein mulai menulis artikel-artikel mengenai dasar
filosofis dari psikologi. Tetapi, ia juga membaca Perjanjian Baru,
Kierkegaard dan Latihan Rohani St Ignatius dari Loyola. Ia merasa bahwa orang tak dapat sekedar membaca sebuah buku macam itu, melainkan harus mengamalkannya.
Pada
musim panas 1921, ia melewatkan beberapa minggu di Bergzabern (di
Palatinate) di tempat Hedwig Conrad-Martius, seorang murid Husserl.
Hedwig dan suaminya telah memeluk agama Protestan. Suatu sore, dari
perpustakaan Hedwig, Edith mengambil secara acak sebuah buku yang
ternyata adalah buku otobiografi St Theresia dari Avila,
dan terus ia membaca buku tersebut sepanjang malam hingga fajar
merekah. “Ketika aku selesai membaca, aku berkata kepada diriku sendiri:
Inilah kebenaran!”
Keesokan
harinya, Edith membeli buku Misa dan Katekismus yang di hari-hari
selanjutnya menjadi tumpuan perhatiannya. Ketika dirasa ia sudah cukup
paham, Edith untuk pertama kalinya masuk ke sebuah Gereja Katolik dan
dengan mudah mengikuti jalannya Misa. Ia ingin dibaptis segera; dan
ketika Pastor Breitling mengatakan bahwa agar dapat dibaptis orang perlu
persiapan untuk mengenal ajaran dan tradisi-tradisi Gereja, ia
menjawab, “Ujilah saya!” Ini dilakukan pastor dan Edith lulus dengan
cemerlang.
“Edith,
pernahkah engkau memohon rahmat iman sebelum engkau bertobat?”
Jawabnya, “Terus-menerus mencari kebenaran itulah satu-satunya doaku.”
Dan kepada seorang biarawati Benediktin sahabatnya, Edith menulis,
“Barangsiapa mencari kebenaran, entah sadar atau tidak, ia mencari
Tuhan.”
Pada
tanggal 1 Januari 1922, Teresa Edith Stein menerima Sakramen Baptis dan
Sakramen Komuni Pertama di Gereja Santo Martinus, Bergzabern. Hari itu
adalah hari Peringatan Penyunatan Yesus, ketika Yesus masuk ke dalam
perjanjian Abraham. Teresa Edith Stein berdiri dekat bejana baptis
dengan mengenakan gaun pengantin putih milik Hedwig Conrad-Martius.
Dengan dispensasi khusus Bapa Uskup, Hedwig menjadi wali baptisnya. “Aku
meninggalkan agama Yahudiku ketika aku masih seorang gadis berusia
empatbelas tahun dan tidak lagi merasakan keyahudian hingga akhirnya aku
kembali kepada Tuhan.” Sejak saat itu ia terus-menerus sadar sepenuhnya
bahwa ia adalah milik Kristus bukan hanya secara rohani, melainkan juga
karena hubungan darah. Pada tanggal 2 Februari, hari Peringatan
Pentahiran Maria - suatu hari yang merujuk pada Perjanjian Lama - ia
menerima Sakramen Penguatan oleh Uskup Speyer di kapel pribadi bapa
uskup.
Edith
langsung menuju Breslau: “Mama,” katanya dengan berlutut sembari
menggenggam kedua tangan sang ibu, “Aku seorang Katolik.” Ibunya yang
seorang Yahudi saleh itu bagai disambar petir. Kemudian perlahan airmata
berlinang-linang membasahi wajahya yang keriput. Edith belum pernah
melihat ibunya yang tegar itu menangis! Ini terlalu berat baginya. Dalam
keluarganya, Katolik dianggap sekte yang hina. Edith siap menerima
teguran yang paling tajam sekalipun, ia bahkan khawatir akan diusir dari
rumah. Tetapi, airmata itu, ungkapan kesedihan hati yang terdalam.
Kedua perempuan itu pun menangis. Hedwig Conrad Martius menulis: “Lihat,
inilah dua orang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (bdk
Yohanes 1:47).
Segera
setelah pertobatannya, kerinduan Edith Stein yang terdalam adalah
menggabungkan diri dalam sebuah biara Karmelit. Tetapi, para pembimbing
rohaninya, Vikaris Jenderal Schwind dari Speyer, dan P Erich Przywara
SJ, untuk sementara menghalanginya. Mereka beranggapan bahwa rencana
Tuhan adalah bahwa Edith Stein mengabdi Gereja lewat ilmunya. P Schwind
mengatur agar Edith menjadi guru bahasa Jerman dan sejarah di sekolah
Suster-suster Dominikan dan juga guru pembimbing mereka yang akan masuk
universitas di Biara St Magdalena di Speyer.
“Segalanya
untuk semua orang,” itulah semboyan Edith sejak ia menjadi Katolik, dan
dalam hal itu ia menjadi teladan bagi semua orang. Satu dari banyak
kesaksian yang ditulis oleh para mantan muridnya mengatakan, “Kami baru
berumur tujuhbelas tahun dan Fraulein (= nona) Doctor mengajar kami
bahasa Jerman. Sesungguhnya ia memberi kami segalanya. Kami masih sangat
muda, namun daya tarik yang terpancar darinya tak akan pernah kami
lupakan. Tiap-tiap hari kami melihat dia berlutut di bangku doanya, di
depan koor, selama Perayaan Ekaristi. Maka kami mulai sedikit mengerti
apa artinya iman dan sikap hidup yang diserasikan. Bagi kami, di usia
yang penuh kritik, sikapnya saja sudah menjadi teladan. Kami tak pernah
melihat dia lain daripada anggun, tenang dan pendiam. Seperti itu ia
selalu masuk ke kelas kami, seperti itu juga ia seminggu sekali menemani
kami waktu rekreasi….”
Pada
saat yang sama, Abbas Agung Raphael Walzer dari Biara Beuron
mendorongnya untuk menerima tawaran memberikan ceramah-ceramah. Sebanyak
mungkin Edith menerima tawaran ini yang merupakan sarana baginya untuk
mewartakan iman Katolik. Jadi Edith melewatkan hari-harinya dengan
mengajar, memberikan kuliah, menulis dan menerjemahkan, memberikan
ceramah-ceramah baik di Jerman maupun di luar negeri, dan segera saja ia
terkenal sebagai seorang filsuf dan pengarang yang ternama, meski yang
didambakannya adalah keheningan dan kontemplasi di Karmel. Pernah ia
dicela karena dianggap terlalu kuat menggarisbawahi segi adikodrati,
yang dijawabnya dengan tegas, “Jika aku tidak berbicara tentang hal ini,
maka tak ada gunanya aku duduk di atas mimbar.”
Edith
belajar bahwa adalah mungkin untuk “mengejar ilmu pengetahuan sebagai
suatu pelayanan kepada Tuhan…. Hingga aku memahami hal ini maka aku
mulai secara serius menekuni karya akademis kembali.” Edith bekerja
keras luar biasa, menerjemahkan surat-surat dan buku harian Kardinal
Newman dari masa sebelum ia menjadi Katolik, pula Quaestiones Disputatae
de Veritate tulisan St Thomas Aquinas. Karya yang disebut belakangan
ini merupakan suatu terjemahan yang sangat bebas, demi kepentingan
dialog dengan filosofi modern. P Erich Przywara juga mendorongnya untuk
menuliskan karya-karya filosofisnya sendiri. “Pada masa menjelang dan
awal pertobatanku, aku pikir bahwa melewatkan suatu kehidupan religius
berarti meninggalkan segala hal-hal duniawi dan mengarahkan akal budi
pada hal-hal ilahi saja. Namun demikian, perlahan-lahan, aku belajar
bahwa hal-hal lain juga diharapkan dari kita di dunia ini…. Aku bahkan
percaya bahwa semakin seorang tenggelam dalam Tuhan, semakin ia harus
`mengatasi dirinya sendiri' dalam hal ini, yakni, masuk ke dalam dunia
dan melaksanakan hidup ilahi di dalamnya.”
Pada
tahun 1931, Edith Stein meninggalkan sekolah biara di Speyer dan
membaktikan diri untuk meraih gelar professor kembali, kali ini di
Breslau dan Freiburg, meski ternyata usahanya sia-sia belaka. Pada waktu
itulah ia menulis “Potensi dan Tindakan”, suatu studi mengenai
konsep-konsep inti yang dikembangkan oleh St Thomas Aquinas.
Di kemudian hari, di Biara Karmelit di Cologne, ia menulis ulang studi
ini demi menghasikan karya utamanya dalam filosofis dan teologis,
“Keterbatasan dan Keabadian” yang diselesaikannya pada tahun 1936.
Tetapi, karena hukum anti Yahudi yang diberlakukan pada masa itu,
karyanya tidak dapat dipublikasikan hingga tahun 1950.
Pada
tahun 1932, ia menerima jabatan dosen di Institut Jerman untuk Ilmu
Pedagogi di Universitas Munster, di mana ia mengembangkan
antropologinya. Dengan gemilang Edith memadukan ilmu pengetahuan dan
iman dalam karya dan pengajarannya, sebagai usaha menjadi “alat Tuhan”
dalam segala yang ia ajarkan. “Jika seorang datang kepadaku, aku ingin
menghantarnya kepada Dia.”
Serangan
terhadap bangsa Yahudi semakin gencar dan pada tahun 1933, Adolf Hitler
dan Partai Nazi berkuasa di Jerman. “Aku telah mendengar perlakuan
buruk terhadap bangsa Yahudi sebelumnya. Tetapi sekarang mulai tampak
bagiku bahwa Tuhan telah menekankan tangan-Nya dengan kuat ke atas
umat-Nya, dan bahwa nasib bangsa ini juga akan menjadi nasibku.” Hukum
Arian Nazi menjadikan mustahil bagi Edith Stein untuk terus mengajar,
“Jika aku tak dapat terus di sini, maka tidak akan ada lagi kesempatan
bagiku di Jerman,” tulisnya; “aku telah menjadi seorang asing di dunia.”
Sekarang
P Walzer, Abbas Agung Beuron yang menjadi pembimbing rohaninya, tak
lagi menghalanginya untuk masuk biara Karmelit. Sementara di Speyer,
Edith telah mengucapkan kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Pada
tahun 1933 ia bertemu dengan Priorin Biara Karmelit di Cologne. Ketika
diberitahukan kepadanya bahwa ia tidak usah berharap dapat melanjutkan
karya ilmiahnya di Karmel, Edith menjawab sepenuh hati, “Karya manusia
tak ada gunanya, yang berarti hanyalah sengsara Kristus. Dan adalah
kerinduanku untuk ikut ambil bagian di dalamnya.”
St Teresa Benedikta dari Salib
St Edith Stein (1891-1942)
bagian 2
Edith
Stein pergi ke Breslau terakhir kalinya untuk mengucapkan selamat
tinggal kepada ibu dan keluarganya. Hari terakhirnya di rumah adalah
tepat hari ulang tahunnya, 12 Oktober, yang adalah juga hari terakhir
Pesta Tabernakel. Edith pergi ke sinagoga bersama ibunya. Sungguh hari
yang sulit bagi keduanya. “Mengapakah engkau harus mengenalnya
[Kekristenan]?” tanya sang ibu, “aku tak hendak berbicara melawan-Nya.
Mungkin Ia seorang yang amat baik. Tetapi mengapakah Ia menjadikan
DiriNya Tuhan?” Sang ibu meneteskan airmata kepedihan di dada anaknya.
Pasti dengan hati Yahudinya yang terluka dan berdarah ia bertanya kepada
Allah Israel, mengapa anak ini, yang dicintainya secara istimewa karena
dilahirkan pada Hari Raya Pendamaian, harus diutus ke padang gurun yang
begitu sepi, begitu jauh dari kaum keluarganya, begitu jauh dari kaum
bangsanya….
Keesokan
harinya Edith berangkat dengan kereta api ke Cologne. “Aku tidak
merasakan sukacita yang meluap. Apa yang baru saja aku alami terlalu
mengerikan. Tetapi aku merasakan suatu damai yang luar biasa - dalam
perlindungan aman kehendak Allah.” Sejak itu ia menulis kepada ibunya
setiap minggu, meski tidak pernah menerima balasan. Tetapi Rosa,
saudarinya, mengiriminya kabar dari Breslau.
Edith
menggabungkan diri dengan Biara Karmelit di Cologne pada tanggal 14
Oktober 1933, dan menerima busana Karmel pada tanggal 15 April 1934.
Misa Kudus dipersembahkan oleh Abbas Agung Beuron. Edith Stein sekarang
dikenal sebagai Suster Teresia Benedicta a Cruce - Teresa, yang
terberkati dari Salib. Pada tahun 1938 ia menulis, “Aku memahami salib
sebagai takdir umat Allah, yang mulai tampak pada waktu itu (1933). Aku
merasa bahwa mereka yang memahami Salib Kristus hendaknya membebankannya
pada diri mereka sendiri atas nama semua orang. Tentu saja, aku tahu
dengan lebih baik sekarang apa artinya dikawinkan dengan Tuhan dalam
Tanda Salib. Namun demikian, orang tidak akan pernah dapat memahaminya,
sebab itu suatu misteri.” Pada tanggal 21 April 1935, Sr Teresa
Benedikta mengucapkan kaul sementara. Ketika itulah ia menulis, “Seorang
Karmelit dapat membalas kasih Tuhan dengan melaksanakan tugas kewajiban
sehari-hari dengan setia dan penuh bakti …. Inilah `jalan kecil', suatu
rangkaian bunga yang disusun dari bunga-bunga kecil tak berharga yang
setiap hari ditempatkan di hadapan Allah yang Mahakuasa - mungkin suatu
kemartiran dalam diam, sepanjang hidup, yang tak diketahui orang dan
yang pada saat bersamaan adalah sumber damai mendalam dan sukacita
sejati dan sumber rahmat yang meluapi semuanya - kita tidak tahu kemana
ia pergi, dan orang-orang yang menerimanya tidak tahu darimana ia
berasal.”
Pada
tanggal 14 September 1936, pembaharuan kaulnya bertepatan dengan wafat
ibunya di Breslau. “Ibuku berpegang teguh pada imannya hingga saat
terakhir. Sebab iman dan keyakinannya yang teguh kepada Tuhan-nya …
adalah hal terakhir yang masih hidup di saat sakrat mautnya, aku yakin
bahwa ia akan bertemu dengan seorang hakim yang sungguh berbelas kasihan
dan bahwa ia sekarang adalah penolongku yang paling setia, sehingga aku
dapat mencapai tujuanku pula.”
Ketika ia mengucapkan Kaul Kekal pada tanggal 21 April 1938, kata-kata St Yohanes dari Salib
dituliskan pada gambar devosionalnya, “Sejak saat ini, satu-satunya
panggilanku adalah mencinta.” Karya terakhirnya dipersembahkannya kepada
St Yohanes dari Salib.
Masuknya
Edith Stein ke Ordo Karmelit bukanlah pelarian. “Mereka yang
menggabungkan diri dengan Ordo Karmelit tidak hilang bagi orang-orang
terdekat dan terkasih, melainkan dimenangkan bagi mereka, sebab adalah
panggilan kami untuk menjadi perantara semua orang kepada Tuhan.” Secara
istimewa, ia menjadi perantara bangsanya kepada Tuhan, “Aku
terus-menerus memikirkan Ratu Ester yang direnggut dari bangsanya tepat
karena Allah menghendakinya untuk memohon kepada raja atas nama
bangsanya. Aku seorang Ester yang amat malang dan tanpa daya, tetapi
Raja yang telah memilihku tak terhingga dalam kuasa dan belas
kasihan-Nya. Ini sungguh merupakan penghiburan besar bagiku” (31 Oktober
1938).
Pada
tanggal 9 November 1938, gerakan anti-Semit oleh Nazi menjadi semakin
nyata di hadapan seluruh dunia. Sinagoga-sinagoga dibumihanguskan, harta
milik orang-orang Yahudi dijarah dan dirampas; orang-orang Yahudi
dicekam ketakutan yang ngeri. Priorin Biara Karmelit di Cologne
melakukan yang terbaik demi memindahkan Sr Teresia Benedicta a Cruce ke
luar negeri. Pada malam Tahun Baru 31 Desember 1938, Sr Teresia
diselundupkan melewati perbatasan ke Belanda, ke Biara Karmelit di Echt
di Provinsi Limburg. Di sinilah ia menuliskan wasiatnya tertanggal 9
Juni 1939, “Bahkan sekarang aku menerima kematian yang telah Tuhan
persiapkan bagiku dalam penyerahan diri sepenuhnya dan dengan sukacita
sebagai kehendak-Nya yang terkudus bagiku. Aku memohon kepada Tuhan
untuk menerima hidupku dan matiku … sehingga Tuhan akan diterima oleh
umat-Nya dan bahwa Kerajaan-Nya akan datang dalam kemuliaan, demi
keselamatan Jerman dan perdamaian dunia.”
Ketika
di biara Cologne, Sr Teresa Benedikta diberi ijin untuk memulai studi
akademisnya kembali. Ia merasa memiliki suatu kesempatan dan tanggung
jawab unik, sebagai seorang Katolik Yahudi, untuk menjembatani jurang
pemisah antara pemahaman Kristiani dan Yahudi. Ia menulis buku
“Kehidupan sebuah Keluarga Yahudi” (yaitu keluarganya sendiri) berusaha
menunjukkan kesamaan pengalaman manusiawi antara orang-orang Yahudi dan
orang-orang Kristiani dalam kehidupan mereka sehari-hari. “Aku hanya
ingin menceritakan apa yang aku alami sebagai bagian dari bangsa
Yahudi,” katanya, menunjukkan bahwa “kami yang dibesarkan dalam agama
Yahudi mempunyai kewajiban untuk menjadi saksi … kepada generasi muda
yang dibesarkan dalam kebencian rasial dari sejak awal kanak-kanak.”
Di
Echt, Sr Teresa Benedikta dengan cepat menyelesaikan studinya “Guru
Mistik Gereja dan Bapa Karmelit, Yohanes dari Salib, dalam peringatan
400 tahun kelahirannya, 1542-1942.” Pada tahun 1941, ia menulis kepada
seorang sahabat, yang adalah juga anggota ordonya, “Orang hanya dapat
memperoleh scientia crucis (pengetahuan tentang salib) jika orang telah
secara mendalam mengalami salib. Aku yakin akan hal ini sejak dari saat
pertama dan seterusnya dan mengatakannya dengan segenap hatiku: `Ave,
Crux, Spes unica!” (Aku menyambut Engkau, wahai Salib, satu-satunya
pengharapan kami).” Studinya mengenai St. Yohanes dari Salib diberinya
judul: “Kreuzeswissenschaft” (Ilmu tentang Salib); karyanya yang tak
pernah terselesaikan.
Salibnya
sendiri sudah di ambang pintu, sebab Nazi telah menguasai Belanda yang
netral. Dan ketika para Uskup Katolik Roma Belanda menentang pembuangan
dan pembantaian orang-orang Yahudi, Nazi menangkap semua orang Katolik
keturunan Yahudi, termasuk para imam dan para religius, di Belanda
sebagai tindakan balas dendam.
Sr
Teresa Benedikta ditangkap oleh Gestapo pada tanggal 2 Agustus 1942
ketika ia sedang di kapel bersama para biarawati lainnya. Ia diwajibkan
melapor dalam waktu lima menit, bersama dengan Rosa - saudarinya yang
telah menjadi Katolik dan seorang Karmelit Ordo Ketiga - yang melayani
di Biara Echt. Dengan menggandeng tangan Rosa, Sr Teresa mengatakan,
“Mari, kita pergi untuk bangsa kita.”
Bersama
dengan banyak orang Yahudi lainnya, kedua perempuan ini dibawa ke suatu
kamp perhentian di Amersfoort dan kemudian dari Amersfoort ke
Westerbork. Kepada Priorin Karmel di Cologne, diceritakan orang sebagai
berikut, “Di antara para tahanan yang datang pada tanggal 4 Agustus, Sr
[Teresa] Benedikta mencolok karena ketenangannya yang dalam dan
kegembiraannya. Penderitaan dan ketegangan dalam kamp itu tak
terlukiskan. Sr Benedikta berkeliling di antara ibu-ibu, menghibur,
menolong, menenangkan, bagai seorang malaikat. Banyak ibu-ibu yang
nyaris gila, sudah berhari-hari tidak menghiraukan anak-anak mereka.
Mereka bingung dan putus asa. Sr Benedikta memperhatikan anak-anak yang
malang itu, memandikan dan menyisir rambut mereka… ia memberi contoh
pengabdian yang tak kenal lelah, yang begitu baik, yang mengherankan
semua orang.”
Ny
Bromberg, salah seorang yang ada di kamp konsentrasi bersama Sr
Benedikta dan kemudian dibebaskan, memberikan kesaksian, “Perbedaan
besar antara Edith dan suster-suster lainnya adalah karena ia pendiam.
Kesan pribadiku ialah bahwa ia sangat sedih, tidak takut, tetapi tak
dapat kukatakan yang lain daripada bahwa ia memberi kesan harus memikul
beban berat penderitaan, yang bahkan bila ia tersenyum, orang merasa
terlebih sedih lagi. Ia hampir tidak berbicara, hanya seringkali ia
memandangi kakaknya Rosa dengan amat sangat sedih. Pada saat aku
menuliskan ini, muncul pikiran bahwa ia tahu apa yang akan terjadi atas
dirinya dan orang lain…. Sekali lagi, ini adalah kesanku: bahwa ia
memikirkan penderitaan yang akan datang, bukan penderitaannya sendiri,
karena ia terlalu tenang dan hampir kukatakan terlalu tenteram,
melainkan penderitaan yang akan menimpa orang lain. Seluruh
penampilannya sampai sekarang memberi aku kesan, bila aku
membayangkannya lagi, duduk di muka barak: suatu patung pieta tanpa
Kristus.”
Prof
Jan Nota, yang begitu dekat dengan Sr Teresa Benedikta, di kemudian
hari menulis, “Ia adalah saksi kehadiran Tuhan dalam suatu dunia di mana
Tuhan absen.” Sr Teresa Benedikta sendiri mengatakan, “Aku tidak pernah
tahu bahwa orang dapat seperti ini, pun aku tidak tahu bahwa saudara
dan saudariku akan harus menderita seperti ini. … Aku berdoa bagi mereka
setiap saat. Adakah Tuhan mendengarkan doa-doaku? Tentu Ia akan
mendengarkan mereka dalam sengsara mereka.”
Pada
tanggal 7 Agustus, pagi-pagi benar, 987 orang Yahudi dideportasi ke
Auschwitz, Polandia dengan kereta api. Dalam perjalanan, kira-kira pukul
12 siang, mereka tiba di Schifferstadt. Sr Teresa Benedikta meminta
petugas kereta api untuk menyampaikan salam kepada keluarga P Schwind -
pembimbing rohaninya yang telah wafat - yang tinggal di kota ini, “Saya
diperjalanan ke arah timur! Ke arah timur! Ad orientem! Menuju kepada
terang!” Inilah kata-katanya yang terakhir.
Pada
tanggal 9 Agustus Suster Teresia Benedicta a Cruce bersama saudarinya
dan banyak kaum bangsanya dibantai dengan gas beracun dalam kamar gas
Nazi dan kemudian jenazah mereka dibakar secara massal di krematorium di
sana.
Ketika
Edith Stein dibeatifikasi di Cologne pada tanggal 1 Mei 1987, Gereja
menghormati “seorang puteri Israel,” seperti dinyatakan Paus Yohanes
Paulus II, yang, sebagai seorang Katolik pada masa penganiayaan Nazi,
tetap setia kepada Tuhan Yesus Kristus yang tersalib, dan sebagai
seorang Yahudi, kepada bangsanya dalam kasih setia.”
Pada
tanggal 11 Oktober 1998, Edith Stein atau Sr Teresa Benedikta dari
Salib dimaklumkan sebagai Santa oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma.
Setahun kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1999, paus yang sama
memaklumkan St Edith Stein, bersama dengan St Katarina dari Sienna dan St Brigitta dari Swedia, sebagai pelindung Eropa. Sebelumnya, Eropa hanya memiliki tiga santo pelindung: St Benediktus, St Sirilus dan St Methodius.
Bapa Suci mengatakan bahwa ia memaklumkan ini “guna menekankan peran
penting yang telah dimainkan dan yang dimiliki kaum perempuan dalam
gereja dan dalam sejarah sipil Eropa.”
Pesta St Edith Stein dirayakan pada tanggal 9 Agustus.
Sumber:
1.“Teresa Benedict of the Cross Edith Stein”; www.vatican.va; 2.“Dr
Edith Stein - Sr Teresa Benedikta dari Salib OCD : Kurban untuk
Bangsanya”; Sr M. Emerentia OP; Biara Karmel Lembang; 3. berbagai sumber
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
0 komentar:
Posting Komentar